Posted by : Jalan-jalan Asik 23 Jun 2015

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Awesome Journey" Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com.




Kapal Klotok meninggalkan Pelabuhan Kumai, berlayar menyusuri Sungai Sekonyer. Penumpang menempati geladak atas. Gita duduk di kursi santai, tatapannya menerobos hutan belantara. Aku menghampirinya, sahabatku ini menjadi pemurung sejak ia tidak lulus dalam seleksi beasiswa S2 ke Jepang.

“Kita memang harus punya cita-cita, harus memperjuangkannya tapi Tuhan punya rencana lain untuk hidupmu Git,” ucapanku membuyarkan lamunannya.

Ada genangan di kelopak matanya yang siap mengalir. Aku berusaha menghiburnya, kurangkul Gita dari belakang.

“Kamu masih bisa mencobanya lagi tahun depan. Sekarang kita nikmati liburan ini, mana ada wisata seperti  ini di Jepang.”

Gita mulai tersenyum, tangannya menyeka butiran yang mengalir di pipi.

“Terima kasih ya, sudah mengajakku berlibur ke tempat ini.”

Kapal melaju dengan kecepatan 10 kilometer per jam. Pohon nipah menghiasi di kiri dan di kanan sungai, akar dan batangnya mampu bertahan hidup di air. Semakin jauh pemandangan berganti dengan rimbunan pohon rasau, si pandan berduri. Angin berhembus kencang, menghantarkan aroma wangi pandan ke indera penciumanku. Ajaib, aromanya bisa sampai ke kapal.

“Aku lapar,” Gita melirikku.

“Ayo kita makan, di meja makan sudah lengkap menu makan siang,” kutarik tangan Gita menuju meja makan.

***

Nahkoda menyandarkan kapal di dermaga Camp Tanjung Harapan, wilayah konservasi Taman Nasional Tanjung Puting. Kami berjalan di atas jembatan kayu, melewati Visitor Information Centre kami menemukan taman budidaya anggrek.

“Ini cantik sekali, lihat bunganya warna-warni!” Gita terpesona melihat anggrek yang bermekaran.

“Ini anggrek hutan,” jelas ku.

Aku berjalan mengikuti rombongan menuju Feeding Station, ada jadwal pemberian makan untuk orangutan pukul 15.00. Satu dua langkah yang kuayunkan mengundang langkah-langkah Gita. Kedatangan kami disambut oleh Leo, orangutan jantan berusianya 30 tahun dengan bobot hampir 60 kilogram.

Teater alam telah dibuka, penonton duduk di kursi kayu berjarak 5 meter dari panggung. Leo  duduk di sana bersandar di pohon. Tak lama berselang Renger datang membawa sekarung pisang dan seember susu dan diletakkan di panggung. Leo hanya melirik, tak ada tanda-tanda untuk meraih dan memakannya.

“Kenapa Leo tidak memakannya?” Gita penasaran.

“Mungkin dia sudah kenyang,” jawabku

“Kenapa orangutan lainnya belum juga datang?”

“Sstt... jangan keras-keras, nanti mereka terganggu dan takut mendekat,” tegurku.

Dahan pohon bergoyang-goyang, puluhan pasang mata mengarah padanya. Satu orangutan bergelantungan di pohon yang tinggi. Tangannya yang panjang meraih dahan pohon, kakinya mencengkeram batang pohon kemudian berayun dan meliuk-liuk untuk turun. Ia berpindah dari satu pohon ke pohon lain dan berhenti pada pohon tak jauh dari Leo. Gerakannya tampak ragu untuk mendekati panggung. Satu per satu orangutan datang, berayun-ayun menuruni pohon. Tak ada satupun yang berani mendekati panggung.

“Kenapa mereka nggak mau turun ke panggung?” bisik Gita.

“Mereka takut sama Leo, dia kan penguasa di sini.”

Kuarahkan kameraku untuk membidik setiap gerak-gerik mereka. Tak berapa lama induk orangutan yang menggendong bayi turun ke panggung. Diraih dan digenggamnya pisang itu, kemudian dimasukkan ke mulut. Kini mulutnya bulat penuh dengan pisang dan segera menyingkir dari panggung.

Aksi induk orangutan tadi mengundang keberanian orangutan lainnya, mereka segera turun dan mendekat ke panggung. Dimasukkan sebanyak-banyaknya pisang itu ke mulutnya dan buru-buru kembali ke pohon.

“Wah mereka cerdik juga,” celetuk Gita.

“ Hahahaha muka mereka lucu sekali,” aku tak bisa menahan tawa.

***

Ada kejutan lain saat kapal melanjutkan perjalanan. Sekelompok kera berekor panjang duduk  di atas pohon, suaranya memecahkan kesunyian. Nahkoda memperlambat kecepatan kapal supaya kami bisa lebih jelas melihat pemandangan ini.

“Lihat itu,” tunjuk Gita.

“Itu bekantan, nama lainnya kera Belanda,” sahutku.

“Bule dong mereka.”

“Lihat saja hidungnya mancung.”

“Ada yang sedang makan daun,” tunjuk Gita.

“Iya, saat sore seperti ini mereka ke sungai untuk makan dan memilih tempat tidur. Mereka hidup berkelompok, masing-masing kelompok dipimpin oleh bekantan jantan yang besar dan kuat,” jelasku.

“Tau dari mana kamu?”

“Baca buku dong.”

“Mereka itu cantik ya. Bulu ekornya panjang berwarna putih, punggung dan bahunya berwarna coklat kemerah-merahan sedangkan dada dan perutnya berwarna putih keabu-abuan,” papar Gita penuh takjub.

“Makanya mereka dijadikan maskot Dunia Fantasi Ancol.”

Gita teringat boneka yang ada di Dunia Fantasi Ancol (Dufan), “Wah iya, maskot Dufan ada banyak di sini.”

Senja beranjak pergi, membawa serta langit sore yang bercahaya. Semburat jingga memantul pada air sungai perlahan pudar, samar-samar menjadi kelabu. Lalu langit malam datang menebar gelap.

Geladak kapal telah disulap menjadi kamar hotel yang nyaman. Aku dan Gita duduk di sudut kapal menikmati malam spesial kami yang gelap. Angin malam berhembus, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Ada kilau cahaya muncul dari balik pohon, aku mengurungkan niatku yang ingin beranjak ke dalam. Sesuatu yang bercahaya melayang-layang pelan. Jumlahnya semakin lama semakin banyak, kuamati gerak pijar itu dengan takjub. Sayap-sayap yang bercahaya.

“Gita, lihat kunang-kunang bermunculan,” tunjukku.

“Ini seperti dalam dongeng,” Gita terperangah menyaksikan ini.

“Kamu tau nggak Git mitos tentang kunang-kunang?”

“Iya, waktu kecil yang kita tau kunang-kunang itu berasal dari kuku orang yang sudah mati.”

Kami berdua tertawa, mengingat kenangan masa kecil. Saat malam tiba dan kunang-kunang bermunculan, bergegas masuk rumah dan tak berani keluar lagi. Sekarang di kota sudah tidak kami temui lagi kunang-kunang. Pohon-pohon ditebang untuk membangun rumah. Listrik terang benderang menerangi setiap sudut. Mereka telah terusir dari habitatnya.

Malam semakin larut, aku dan Gita tak bisa menahan kantuk. Segera kami masuk ke kamar berkelambu, merebahkan badan dan memejamkan mata. Semoga kami masih bisa bermimpi untuk berpetualang ke tempat indah lainnya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Jalan-jalan Asik - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -